Seorang Presiden Hidup Dengan Kemewahan Itu Sudah Biasa! Bagaimana dengan Presiden Miskin Ini?

shares |

Homestay Dan Penginapan Murah Di Bontang
Informasi Jasa Sewa Rumah Murah Di Bontang Call +6281228801199
http://www.HomestayBontang.com

Homestay Dan Penginapan Murah Di Bontang
Informasi Jasa Sewa Rumah Murah Di Bontang Call +6281228801199
http://www.HomestayBontang.com

Homestay Dan Penginapan Murah Di Bontang
Informasi Jasa Sewa Rumah Murah Di Bontang Call +6281228801199
http://www.HomestayBontang.com

Ads by HomestayBontang.com
Homestay Dan Penginapan Murah Di Bontang
Informasi Jasa Sewa Rumah Murah Di Bontang Call +6281228801199
http://www.HomestayBontang.com

Homestay Dan Penginapan Murah Di Bontang
Informasi Jasa Sewa Rumah Murah Di Bontang Call +6281228801199
http://www.HomestayBontang.com

Homestay Dan Penginapan Murah Di Bontang
Informasi Jasa Sewa Rumah Murah Di Bontang Call +6281228801199
http://www.HomestayBontang.com

Ads by HomestayBontang.com
Pernah disebut "Gerilyawan Robinhood." Menolak korupsi dan memperkaya pribadi. Tidak setiap abad terjadi. Rumah itu tak sedap dipandang. Tembok bercat putih mulai dimakan lumut. Atap yang terbuat dari seng sudah pula karatan. Tak ada pagar pembatas halaman. Hanya rumput liar yang tumbuh di sana-sini.

Seorang Presiden Hidup Dengan Kemewahan Itu Sudah Biasa! Bagaimana dengan Presiden Miskin Ini?

Seorang Presiden Hidup Dengan Kemewahan Itu Sudah Biasa! Bagaimana dengan Presiden Miskin Ini?
Seorang Presiden Hidup Dengan Kemewahan Itu Sudah Biasa! Bagaimana dengan Presiden Miskin Ini?


Lokasinya cukup terpencil. Di pinggiran Kota Montevideo. Ibukota Uruguay. Satu-satunya jalan hanyalah jalan tanah, tanpa aspal. Jalan yang selalu berdebu saat musim kering dan berlumpur di waktu hujan.



Di rumah itulah Jose Alberto Mujica Cordano tinggal. Presiden Uruguay itu menolak rumah dinas di tengah kota. Meski sudah tentu jauh lebih mewah dan lengkap dengan segala fasilitas. Pria 79 tahun ini justru memilih tinggal di bangunan tua yang terletak di tengah pertanian itu.



Siapa saja yang baru lewat, tak bakal menyangka rumah jelek itu ditinggali seorang presiden. Hanya dua polisi di halaman yang menunjukkan kediaman itu milik pejabat. Selain itu, tak ada pembeda lagi dengan rumah warga di sekitarnya.



Pria yang karib disapa Pepe ini memang dikenal sebagai “presiden termiskin” di dunia. Kekayaannya tercatat hanya Rp 2,3 miliar saja. Itu pun setelah seluruh hartanya ditambah rumah milik sang istri, Lucia Topolansky.



Saat awal menjabat presiden 2010 silam, kekayaan yang dia laporkan ke negara bahkan hanya Rp 20,8 juta. Harta itu merupakan nilai dari mobil tua miliknya, Volkswagen Beetle. Mobil buatan Jerman yang dirancang untuk rakyat jelata. Belakangan, VW Kodok keluaran 1987 ini ditawar Rp 12 miliar oleh seorang seikh Arab. Namun ia tak mau melepas.



“Saya mungkin terlihat seperti pria tua yang eksentrik. Tapi ini pilihan,” kata Mujica dikutip dari laman BBC. “Saya sudah hidup seperti ini hampir seluruh hidup saya. Saya bisa hidup dengan apa yang saya punya.”



Presiden yang segera turun tahta ini tak peduli dengan julukan “presiden termiskin” disematkan oleh dunia. “Saya disebut 'presiden termiskin', tapi saya tidak merasa miskin. Orang miskin adalah mereka yang hanya bekerja untuk mencoba memelihara gaya hidup mewah, dan selalu ingin lebih dan lebih,” katanya.



Mujica benar-benar pemimpin langka. Jangankan korupsi. Dia justru menyumbangkan 90 persen dari gaji bulanannya, atau sekitar Rp 138.972.000, untuk amal. Dengan hanya menerima 10 persen gaji, berarti per bulan Mujica hanya menerima penghasilan sekitar Rp 8,9 juta saja. Jumlah tersebut sama dengan rata-rata penghasilan warga Uruguay.



“Ini adalah masalah kebebasan. Jika Anda tidak memiliki banyak harta maka Anda tidak perlu bekerja sepanjang hidup Anda seperti budak untuk mempertahankan gaya hidup mereka, dan karena itu Anda memiliki lebih banyak waktu untuk diri sendiri,” tutur Mujica.



***



Mujica lahir di Montevideo, 20 Mei 1935, sebagai blasteran. Sang ayah, Demetrio Mujica, merupakan imigran Spanyol keturunan Basque. Sang bunda, Lucy Cordano, adalah keturunan imigran Liguria, Italia. Sejak kecil, Mujica sudah bergelut dengan kemiskinan. Sang ayah bahkan meninggal dalam kondisi bangkrut saat Mujica berusia delapan tahun.



Pada tahun 1930-an, Uruguay menjadi salah satu negara makmur di Bumi. Undang-undang perlindungan sosialnya cukup bagus. Para buruh hanya bekerja delapan jam sehari. Dan ibu hamil diberi hak cuti. Dua piala dunia bahkan mereka rajai. Tahun 1930 dan 1950. Kala itu, Uruguay bahkan berjuluk “Swiss Amerika Latin”.



Namun semua keajaiban itu runtuh saat Mujica tumbuh. Inflasi tinggi. Ekonomi Uruguay stagnan. Banyak warga kelaparan. Banyak warga yang jatuh miskin. Termasuk keluarga Mujica. Sumber-sumber ekonomi hanya dikuasai oleh segelintir warga. Terutama di lingkar terdekat penguasa. Uruguay yang makmur itu pun bergejolak.



Pada pertengahan 1960-an, Mujica bergabung dengan gerilyawan Tupamaros, sebuah kelompok politik sayap kiri yang terinspirasi revolusi Kuba. Mereka berniat menggulingkan penguasa yang dipimpin Presiden Jorge Pacheco Areco. Dan mencoba cara baru untuk mengubah nasib bangsa yang semakin terpuruk.



Sejak itulah Mujica terlibat dalam berbagai gerakan Tupamaros. Dia turut merampok bank, kasino, dan pusat-pusat perekonomian lainnya. Pemerintah Uruguay pun menabuh genderang perang. Anggota Tupamaros diburu. Mulai dari gang-gang sempit di perkotaan hingga hutan rimba.



Keterlibatan Mujica dalam gerilyawan Tupamaros inilah yang belakangan dipertanyakan. Bagaimana bisa seorang presiden memiliki latar belakang sebagai perampok. Dan bahkan mungkin pernah membunuh orang. Tapi, Mujica punya dalih untuk membenarkan berbagai aksi di masa lalu itu.



“Saya tak pernah membunuh siapapun, sebab itu tidak diperlukan. Yang berbahaya adalah bank yang telah merampok kami. Cara bank berperilaku terus terang tak tertahankan,” tutur Mujica menjelaskan keterlibatannya dalam berbagai aksi Tupamaros.



“Saya tidak merampok untuk diri saya. Saya mengambil alih sumber daya untuk perjuangan. Jika saya merampok untuk diri saya, itu akan berbeda,” tambah dia.



Gerilyawan Tupamaros memang membagi-bagikan hasil jarahan kepada rakyat miskin. Majalah Time bahkan menjuluki mereka sebagai “Gerilyawan Robinhood”.



Pada 1969, Mujica terlibat dalam pengambilalihan Pando, sebuah kota di sekat Montevideo. Dia dipercaya memimpin tim yang bertugas menguasai komunikasi di kota itu. Sehingga operasi tersebut berjalan mulus. Sejak itu pula, Mujica masuk dalam daftar pentolan Tupamaros yang paling diburu aparat Uruguay.



Selama bergerilya, Mujica berulang kali bersua dengan maut. Pada Maret 1970 Mujica kepergok saat berada di bar. Dua polisi mendekat. Namun Mujica muda sangat gesit. Dia segera mencabut pistol dan menembak kedua polisi itu hingga terkapar.



Namun sayang, setelah itu giliran Mujica yang diberondong peluru. Enam proyektil bersarang di tubuhnya. Dia sekarat. Beruntung, seorang dokter bedah menyelamatkan nyawanya. Mujica tetap hidup. Meski harus meringkuk di sel Punta Carretas. Mujica dua kali melarikan diri dari penjara. Dia keluar melalui terowongan yang digali dari dalam tahanan.



Mujica juga menggerakkan para pemuda untuk berunjuk rasa. Aksi protes merebak di penjuru Ibukota. Namun semua berubah brutal. Tak terkendali. Para demonstran berubah beringas. Terjadi penculikan, pengeboman, bahkan pembunuhan. Citra Tupamaros pun menjadi tercabik-cabik.



Militer pun turun tangan mengendalikan keamanan. Dalam operasi selama setahun, Tupamaros berhasil ditumpas. Dan Mujica ditangkap pada Agustus 1972 saat tidur dengan memeluk senapan serta menyimpan granat di balik jaketnya. Pada 1973, Juan MarĂ­a Bordaberry dari Partai Colorado melakukan kudeta. Sejak itu, demokrasi di Uruguay turut tumpas menyusul kelompok Tupamaros.



Sembilan pentolan Tupamaros –termasuk Mujica– dipindah ke penjara militer. Di sinilah penderitaan yang luar biasa dimulai. Mereka diperlakukan tak manusiawi. Kondisi sel sangat buruk. Inilah yang membuat Mujica hampir gila. Sisa proyektil di dalam usus terus membuatnya sakit. Bahkan, untuk menahan sakit, dia harus memasukkan batu ke dalam mulutnya untuk menahan erangan. Di tahanan itu pula, Mujica lebih banyak menyendiri. Dia mengalami halusinasi. Kondisi kesehatan Mujica terus menurun karena dirubung sejumlah penyakit.



Mujica baru bebas pada tahun 1985. Saat demokrasi kembali tumbuh di Uruguay. Dia dan sejumlah pentolan Tupamaros dibebaskan di bawah undang-undang amnesti yang menemukan keterlibatan militer dalam kejahatan politik sejak 1962. Sejak itu, Uruguay pun melakukan restorasi demokrasi.



Keluar penjara, Mujica kembali menyusun kekuatan. Mantan gerilyawan Tupamaros berkumpul. Bergabung dengan kelompok sayap kiri lainnya dan membentuk Movement of Popular Participation (MPP). Sebuah partai politik yang diterima oleh koalisi Broad Front.



Dalam Pemilu 1999, Mujica terpilih menjadi senator. Popularitas MPP terus tumbuh. Dan pada 2004 menjadi faksi paling besar dalam koalisi Board Front. Tahun itu pula Mujica kembali terpilih menjadi senator. Dan pada tahun 2009, partai ini mengantar Mujica ke kursi presiden Uruguay.



Dan, ini hebatnya. Di puncak kekuasaan, dia menolak semua godaan duniawi. Ia tak korupsi. Malah memberi sebagian gajinya untuk amal. Dan hidup seperti rakyat biasa Uruguay pada umumnya.



Di tengah adagium bahwa politik selalu menghalalkan segala cara untuk memperkaya kelompok atau pribadi, Mujica barangkali adalah sebuah antitesa. Ia menolak memperkaya dirinya pribadi. Ia memilih hidup sederhana, dan memilih --secara sadar-- menjadi presiden termiskin di dunia.
Homestay Dan Penginapan Murah Di Bontang
Informasi Jasa Sewa Rumah Murah Di Bontang Call +6281228801199
http://www.HomestayBontang.com

Homestay Dan Penginapan Murah Di Bontang
Informasi Jasa Sewa Rumah Murah Di Bontang Call +6281228801199
http://www.HomestayBontang.com

Homestay Dan Penginapan Murah Di Bontang
Informasi Jasa Sewa Rumah Murah Di Bontang Call +6281228801199
http://www.HomestayBontang.com

Ads by HomestayBontang.com

Related Posts