LGBT yang merupakan singkatan dari lesbian, gay, biseksual dan transgender kini sedang menjadi berita yang hangat diperbincangkan. Baik dalam forum diskusi maupun di berbagai media massa. Muncul berbagai pro dan kontra mengenai kelompok LGBT. Tak jarang, mereka yang menginginkan agar LGBT dilegalkan di Indonesia menjadikan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai tameng utama.
Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak fundamental yang diakui dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi HAM. Dan secara sistematis kelompok LGBT dan pendukungnya sedang bergerak melegalisasi pernikahan sesama jenis di Indonesia. Ada gerakan ITD (Indonesia Tanpa Diskriminasi) yang melakukan pergerakan secara massif melalui film, sastra dan sebagainya untuk mewujudkan Indonesia tanpa diskriminasi.
Para pihak yang kontra merasa bahwa dengan adanya kelompok LGBT yang tak lazim tumbuh di tengah masyarakat Indonesia dengan adat dan agamanya yang kental sehingga kenyamanan mereka untuk bersosialisasi dengan bebas pun terenggut. Bahkan, bintang tinju dunia yang juga politikus Filipina Manny Pacquiao juga ikut melontarkan pernyataan anti-LGBT. Pernyataannya membuat marah para pendukung dan kelompok LGBT di dalam dan luar negeri.
Banyak publik yang tidak mengetahui bahwa gerakan LGBT agar bisa diterima oleh masyarakat, sudah dimulai semenjak tahun 60-an. Memang benar bahwa homoseksual tidak lagi dicantumkan sebagai sebuah penyakit mental didalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders(DSM-II) pada tahun 1973 yang merupakan ‘kitab suci’ para psikolog dan psikiater dunia.
Pencabutan homoseksual dari DSM pada tahun 1973, yang berdampak pada pandangan bahwa homoseksual bukan lagi sebagai penyakit jiwa, dilakukan bukan berdasarkan data dan hasil penelitian. Tetapi, berdasarkan adanya desakan politik dan demonstrasi besar-besaran. Gerekan ini merupakan rentetan dari pergerakan hak kebebasan warga Amerika kulit hitam yang juga berimbas pada munculnya gerakan feminisme.
Dengan memberikan sebuah pernyataan bahwa LGBT adalah sebuah variasi dalam kehidupan manusia dan dibungkus atas nama ilmu pengetahuan merupakan sebuah pembodohan terhadap masyarakat awam. Serta mempermalukan dunia ilmiah.
Pembenaran terhadap kaum LGBT melalui sudut pandang neuroscience (ilmu yang mempelajari tentang otak) akan berdampak pada masalah lain yang lebih kompleks. Ketika kelainan seksual pada LGBT mendapat tempat, maka selanjutnya kelainan seksual berupa pedofilia (pelampiasan hasrat seks pada anak-anak) dan incest (pelampiasan hasrat seks pada saudara kandung) menuntut hak yang sama.
Atas nama orientasi seksual yang tidak bisa dipaksakan serta kebebasan berekspresi yang dilegitimasi oleh ide HAM, kedua kaum ini juga menganggap bahwa mereka layak diakui dan disetarakan kedudukannya sebagaimana homo dan hetero.
Keberadaan LGBT ini muncul karena adanya faktor ideologis, ketika Negara Barat mengadopsi teori TR Malthus yang menyatakan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk mengikuti deret ukur, sedang pertumbuhan barang dan jasa mengikuti deret hitung. Dimana jumlah pertambahan populasi dunia meningkat lebih cepat, kebutuhan manusia pun tak terbatas sementara alat pemuasnya terbatas.
Terlebih disaat ekonomi tidak tumbuh. Untuk mengatasi hal itu, maka pertumbuhan penduduk di dunia harus dihentikan, atau setidaknya dikurangi dengan menganjurkan LGBT. Reasoning-nya, kebutuhan seksualnya terpenuhi, tetapi tidak menambah populasi karena dilampiaskan kepada sesama jenis. Kemudian didukung dengan kesalahan faktor pendidikan, lingkungan, pergaulan, bacaan dan tontonan yang hadir ditengah-tengah masyarakat.
Faktor-faktor ini secara simultan menjadi pemicu lahir, tumbuh dan berkembangnya LGBT di dunia. Karena LGBT ini bukan fitrah, tetapi penyimpangan perilaku, maka LGBT ini justru membahayakan individu, keluarga, masyarakat dan negara.
Bagi individu, perilaku menyimpang ini pasti membuatnya tidak tenang, apalagi bahagia. Bahkan hidupnya diliputi berbagai kecemasan dan kegelisahan karena menyalahi fitrah. Mereka pun tak jarang terjangkiti virus HIV/AIDS yang kemudian dibawa pulang dan mengancam keluarga. Mentalitas mereka yang lemah dan rusak, ditambah efek penyebaran virus LGBT yang massif, dengan dukungan individu, negara dan badan dunia, menyebabkan dampak kerusakan dan destruktifitasnya menjadi ancaman nyata bagi masyarakat dan negara.
Berdasarkan hal ini, maka penyelesaian LGBT ini harus menyeluruh dan sistemik untuk memberantas tuntas penyimpangan perilaku LGBT. Islam menetapkan lima cara untuk menghentikan penyebaran perilaku tersebut. Pertama, Islam mewajibkan negara berperan besar dalam memupuk ketakwaan individu agar memiliki benteng dari penyimpangan perilaku semisal LGBT yang terkategori dosa besar.
Kedua, melalui pola asuh di keluarga maupun kurikulum pendidikan untuk menguatkan identitas diri sebagai laki-laki dan perempuan. Ketiga, Islam mencegah tumbuh dan berkembangnya benih perilaku menyimpang dengan memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan serta memberikan aturan pergaulan sesama dan antar jenis. Keempat, secara sistemis, Islam memerintahkan negara menghilangkan rangsangan seksual dari publik termasuk pornografi dan pornoaksi.
Kelima, Islam juga menetapkan hukuman yang bersifat kuratif (menyembuhkan), menghilangkan LGBT dan memutus siklusnya dari masyarakat dengan menerapkan pidana mati bagi pelaku sodomi (LGBT) baik subyek dan obyeknya.
Jika masalah ideologis ini selesai, maka LGBT sebagai solusi Kapitalisme dalam mengatasi ledakan demografi jelas akan terkubur bersama para penganut dan pengikutnya. Dengan cara seperti inilah, maka LGBT ini akan bisa diberantas hingga ke akar-akarnya. Pada saat yang sama pula, LGBT yang dijadikan sebagai salah satu pintu penjajahan untuk melemahkan negara pun bisa ditutup rapat-rapat. (*)
Penulis: Nurul Inayah, SEI Tenaga Kontrak di Kementrian Agama Bontang