Mungkin sebagian orang masih ragu mengenai masalah ini. Ada yang masih
ngotot bahwa pemimpin boleh-boleh saja dari kaum wanita. Caleg, Bupati,
Gubernur dan Presiden boleh saja dari wanita. Namun tentu saja yang
menjadi hakim dalam pro-kontra yang ada adalah bukanlah hawa nafsu.
Kalau dengan hawa nafsu, maka semua akan berbicara seenaknya berbicara
sendiri. Allah dan Rasul-Nya lah sebaik-baik hakim dalam masalah ini.
Oleh karena itu, dalam tulisan kali ini kami ingin meluruskan persepsi
sebagian orang mengenai hal ini. Namun, kami bukan maksud membela
golongan tertentu atau meremehkan mereka. Tidak sama sekali. Yang kami
sajikan hanyalah perkataan Allah dan Rasul-Nya (dari Al Qur’an dan
Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam), bukan pendapat si A dan si B
yang bisa saja salah. Semoga Allah memberi taufik pada siapa saja yang
membaca tulisan ini.
Dalam Al Qur’an, Kaum Laki-laki adalah Pemimpin bagi Kaum Wanita
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ
عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An Nisaa’ : 34)
Bagaimana maksud ayat ini menurut para ulama yang mendalam ilmunya?
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim mengatakan mengenai ’ar rijaalu qowwamuna
’alan nisaa’, maksudnya adalah laki-laki adalah pemimpin wanita. (Ad
Darul Mantsur, Jalaluddin As Suyuthi)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Laki-lakilah yang seharusnya
mengurusi kaum wanita. Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita,
sebagai hakim bagi mereka dan laki-lakilah yang meluruskan apabila
wanita menyimpang dari kebenaran. Lalu ayat (yang artinya), ’Allah
melebihkan sebagian mereka dari yang lain’, maksudnya adalah Allah
melebihkan kaum pria dari wanita. Hal ini disebabkan karena laki-laki
adalah lebih utama dari wanita dan lebih baik dari wanita. Oleh karena
itu, kenabian hanya khusus diberikan pada laki-laki, begitu pula dengan
kerajaan yang megah diberikan pada laki-laki. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, ”Suatu kaum itu tidak akan bahagia
apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.” Hadits
ini diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits ‘Abdur Rohman bin Abu Bakroh
dari ayahnya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim pada tafsir surat An
Nisaa’ ayat 34)
Asy Syaukani rahimahullah juga mengatakan bahwa maksud ’qowwamuna’ dalam
ayat ini: laki-laki seharusnya yang jadi pemimpin bagi wanita. (Fathul
Qodir pada tafsir surat An Nisaa’ ayat 34)
Syaikh ‘Abdur Rahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Kaum
prialah yang mengurusi kaum wanita agar wanita tetap memperhatikan
hak-hak Allah Ta’ala yaitu melaksanakan yang wajib, mencegah mereka dari
berbuat kerusakan. Kaum laki-laki (baca: suami) berkewajiban pula
mencari nafkah, pakaian dan tempat tinggal bagi kaum wanita.” (Taisir
Karimir Rahman)
Dalam surat An Nisaa’ ayat 34 juga terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita yaitu pada ayat:
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
”Kemudian jika mereka (para istri) mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”
Ayat di atas menunjukkan bahwa istri harus menaati suaminya, bukan
sebaliknya suami harus mentaati istri. (Tafsir Al Qur’an Lil Utsaimin,
5/81, Mawqi’ Al ’Allamah Al Utsaimin)
Jika laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dalam rumah tangga yang
lingkupnya lebih kecil, bagaimana mungkin wanita dibolehkan jadi
pemimpin bagi desa, kecamatan, kabupaten, propinsi apalagi negara!!
Banyak Ayat Lain dalam Al Qur’an yang Mendukung Hal Ini
Pertama; Allah melebihkan derajat laki-laki daripada wanita
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Baqarah:
228)
Kedua; Para Nabi dan Rasul adalah laki-laki.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami
berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri.” (QS. Yusuf : 109)
Ketiga; Para istri Nabi berada di bawah kekuasaan para Nabi.
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ
لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ
فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ
ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi
orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba
yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat
kepada suaminya (masing-masing).” (QS. At Tahrim : 10)
Kata-kata di bawah dalam ayat ini menunjukkan bahwa wanita itu dipimpin,
bukan yang memimpin. Ketentuan ini bukan hanya syari’at Nabi Muhammad
shallallahu ’alaihi wa sallam, namun juga ini adalah ketentuan nabi
terdahulu yaitu Nabi Nuh ’alaihis salam.
Keempat; Warisan laki-laki setara dengan dua wanita.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan” (QS. An Nisa’ : 11)
Saksi laki-laki setara dengan dua wanita (dalam transaksi finansial
bukan dalam semua persaksian), sebagaimana firman-Nya yang artinya,”Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki
dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” (QS. Al Baqarah : 282)
5 Bukti: Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam Menetapkan bahwa Kaum Laki-laki Seharusnya Yang Memimpin
Bukti pertama; Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah mengangkat pemimpin (amir) dari kaum wanita.
Bukti kedua; Imam shalat tidak
pernah seorang wanita, tetapi seorang laki-laki. Bahkan beliau
shollallohu ‘alaihi wa sallam ketika sakit tidaklah menyuruh istrinya
untuk menjadi imam.
Bukti ketiga; Hak laki-laki lebih mulia daripada wanita.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada yang lain,
tentu akan kuperintahkan wanita sujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi
no. 1159. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Bukti keempat; Wanita harus
izin kalau ingin puasa sunnah. Hal ini ditegaskan dari hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
barsabda,
لا يحل للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إلا بأذنه
“Hendaklah wanita tidak berpuasa (sunnah) apabila suaminya ada di rumah selain dengan seizin suaminya.”(HR. Bukhari).
Pesan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ini ditujukan kepada sang
isteri bukan kepada suami, karena suami adalah pemimpin.
Bukti kelima; Laki-laki wajib ditaati, sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ
فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu
istrinya enggan mendatanginya, sehingga suaminya tidur dalam keadaan
marah, maka malaikat akan melaknat istri tersebut sampai pagi hari.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa suami punya hak memerintah isterinya karena suami adalah pemimpin.
Bukti lain dari sejarah Islam adalah bahwa semua para Rasul dan Nabi
adalah laki-laki, begitu juga semua khalifah ada laki-laki dan pemimpin
pasukan tempur untuk melawan musuh juga seorang laki-laki.
Bersambung insya Allah …
Baca Juga :
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Tulisan di masa silam